Posted by: ditasari | February 18, 2008

KONKRET, TEGAS DAN LANGSUNG

Tahun 2006 ditutup dengan janji Presiden untuk melakukan tindakan konkret, langsung dan tegas dengan bahasa terang. Berbagai kalangan menyambut positif pernyataan ini, meskipun disertai tuntutan agar ada tindakan nyata untuk mewujudkannya. Momentum bagi Presiden untuk berwacana memang telah lama usai.Di satu sisi, pernyataan ini merupakan satu bentuk introspeksi dan pengakuan dari Presiden terhadap sejumlah kelemahan dalam gaya dan karakter kepemimpinannya. Ini positif. Lemahnya leadership kepresidenan yang dikeluhkan begitu banyak pihak menemukan pembenarannya dalam pernyataan sang leader sendiri. Better late than never, adalah semboyan yang tampaknya diyakini Presiden dalam memberi pemakluman atas berbagai kelemahan kepemimpinannya dalam dua tahun ini

 

Adakah tawaran baru?

Di sisi lain, pernyataan Presiden untuk memperbaiki karakter kepemimpinannya di tahun 2007 ini sesungguhnya tidak memberikan kepada rakyat satu tawaran apa-apa. Presiden akan bersikap tegas dan konkret dalam hal apa? Soal korupsikah? Soal kemandirian ekonomikah? Pelanggaran HAM masa lalu? Bagaimana dengan soal-soal demokrasi? Apakah Presiden juga akan bertindak konkret dalam melindungi kepentingan kaum minoritas? Apa prioritas kerja ekonomi dan politik yang akan dikonkretkan, ditegaskan dan dilangsungkan itu? Masih gelap. Ini kontradiktif, karena pada detik yang sama, Presiden bertekad untuk menggunakan bahasa terang dalam berkomunikasi kepada rakyat.

Persoalannya utamanya bukanlah semata-mata pada kuatnya dominasi partai politik dalam mempengaruhi ketegasan Presiden dalam bertindak. Atau dominasi wakil presiden, DPR dan pemodal besar. Meskipun hal-hal ini pasti akan memberi pengaruh, namun kunci kekuatan Presiden dalam memimpin negara adalah prioritas program politik dan ekonomi yang ditetapkanya. Kolonel Hugo Chavez mampu tampil sebagai pemimpin kuat di kawasan Amerika Latin bukan karena tindak-tanduknya yang setiap hari mencerca George Bush dan AS, namun karena sedari awal memiliki visi kuat akan kemandirian ekonomi dan kedaulatan politik negerinya Provokasinya terhadap AS adalah semata-mata turunan dari visi ekonominya. Evo Morales, seorang petani Coca di Bolivia, dipandang sebagai presiden yang kuat karena meyakini bahwa prioritas kerjanya adalah memastikan bahwa kekayaan alam negerinya tidak menyeberang ke tangan asing, agar digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyatnya. Demikian pula beberapa pemimpin Amerika Latin lainnya.

 

Keleluasaan Presiden

Presiden bebas memilih satu, dua atau tiga prioritas kerja ekonomi politiknya dari sekian ribu permasalahan kronis di negeri ini. Jika pemberantasan korupsi dijadikan prioritas kerja, maka koruptor yang menjarah uang rakyat besar-besaran adalah targetnya. Koruptor triliunan dana BLBI dan Cendanakah? Atau korupsi di tubuh Pertamina, PLN dan BUMN strategis lainnya termasuk perbankan? Atau korupsi dan mark-up di jajaran angkatan bersenjata dan kepolisian? Pemberantasan korupsi yang tebang pilih jelas adalah konsekuensi dari ketiadaan prioritas sedari awal Presiden memimpin negerinya, negeri saya, negeri kita semua. “Gangguan” dari parpol dan DPR yang datang kemudian, dengan mudah mengacaukan sesuatu yang sedari awal memang sudah tak punya kejelasan.

Jika kemandirian ekonomi menjadi orientasi yang mendasari policy ekonominya, maka keputusan soal beban utang luar negeri, liberalisasi pasar dan perlindungan kekayaan alam akan menjadi lebih mudah untuk dijabarkan. Pengelolaan Blok Cepu, misalnya, pasti tidak akan dilepaskan pada ExxonMobil. Peninjauan ulang 890 ijin Kontrak Karya, Kuasa Pertambangan, dan PKP2B (Perjanjian Kerja Pengusaha Pertambangan Batubara), yang telah diberikan negara dengan penguasaan lebih dari 35% daratan kepulauan Indonesia, akan menjadi agenda kerja ekonomi yang mendesak.. Subsidi BBM tidak akan dipangkas hingga 100% lebih. Produksi gas alam kita akan diprioritaskan bagi keperluan industri dalam negeri, bukannya habis diekspor.

Dan yang terpenting adalah dari prioritas kerja ekonomi dan politik inilah Presiden dapat dengan mudah memutuskan orang-orang yang akan duduk di kabinet dan di kanan-kirinya. Di negara manapun, prioritas ekonomi dan politik Presidenlah yang tercermin lewat pemilihan pembantu-pembantunya, dan bukan sebaliknya. Presiden tak perlu berbicara panjang lebar tentang prioritasnya, karena rakyat akan segera mengerti saat melihat jajaran menterinya.

Memang tak mungkin seluruh masalah dapat selesai dalam waktu dua tahun. Namun waktu dua tahun adalah cukup bagi seorang Presiden yang dipilih langsung untuk melakukan babat alas, meletakkan dasar bagi satu tradisi ekonomi dan politik yang baru. Harga kemanusiaan yang harus ditanggung rakyat juga tidak kecil selama 2 tahun ini. Data yang dipublikasikan Bank Dunia pada 7 Desember 2006 yang lalu berjumlah 108,78 juta (49%) rakyat Indonesia adalah miskin. Dengan kriteria berbeda, angka kemiskinan versi BPS “hanya” sebesar 17,75%. Dengan garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat penghasilan sebesar U$1,55, angka kemiskinan pada 2006 naik sebesar 4 juta dibanding tahun 2005 menjadi 39,05 juta.

Bertindak tegas dan konkret adalah tepat. Namun masalah sesungguhnya adalah sejak awal, Presiden tidak memiliki visi akan kemandirian ekonomi dan pemutusan hubungan dengan masa lalu. Jenderal SBY memang bukan Kolonel Chavez atau Kolonel Khadafi atau Morales, namun tak ada salahnya kita sedikit belajar dari mereka, mengambil apa-apa yang baik, konkret, tegas dan langsung dari mereka. Jika tidak bisa-bisa sebaliknya yang akan terjadi: rakyat yang akan bertindak tegas, kongkrit, dan dalam bahasa yang terang. Yaitu mencabut mandat Presiden di tahun 2009.

Dita Sari

* Dewan Pertimbangan Papernas

* Ditulis pada awal tahun 2007


Leave a comment

Categories